Cari Blog Ini

10.12.2010

Syukur

......, bahkan kalau gigi ini bisa dijual, akan saya jual untuk mereka.

Subhaanallaah. Penggalan kalimat di atas membuktikan adanya kasih sayang yang begitu hebat. Bayangkan, seseorang bahkan rela menjual giginya untuk orang-orang yang disayanginya. Siapakah orang itu? Siapa jugakah orang-orang yang disayanginya itu? Ia adalah seorang ibu yang sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya dan keempat anaknya tanpa seorang suami. Kisah ini saya tulis kembali dari artikel di majalah Tarbawi edisi 236 th. 12 yang berjudul "Demi Anak-anak, Saya Harus mampu Bertahan".

Mungkin diantara para pembaca ada yang mempunyai pengalaman yang hampir sama, ada juga yang sama dilihat dari sisi 'berjuang tanpa suami', atau ada juga yang sama dari sisi yang lainnya.

Hal yang saya kagumi adalah bahwa ibu tersebut, Etty Gipti Aty (53), bukanlah seorang wanita karir ataupun seseorang yang terbiasa berkerja saat suaminya masih hidup. Jadi, ketika setelah 5 tahun suaminya sakit dan akhirnya meninggal dunia, ia harus memulai segalanya dari nol. Pada saat suaminya sudah tidak kuat bekerja lagi karena sakit yang dideritanya, dia mulai menjual harta yang dimilikinya. Dia berusaha keras untuk menyambung hidup keluarganya dengan menjual harta yang ia punya, bahkan sampai baju anak-anaknya juga ikut terjual.

Ketika pada akhirnya ia harus berjuang tanpa suami, ia merasa sangat berat. Menyekolahkan keempat anaknya bukan hal yang mudah baginya yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan merasa tak punya keahlian apapun. Namun, ketika ada seseorang memberitahunya bahwa ada seseorang yang berjualan rujak bisa menyekolahkan kelima anaknya hingga perguruan tinggi, semangatnya sedikit muncul. Karena ia masih belum percaya, ia minta diantar ke penjual rujak tersebut. Ketika bertemu, ia menanyakan kunci dari keberhasilannya. Jawabnya sangat singkat, namun penuh makna. Ia berkata, "Tawakkal pada Allah dan menangislah kepada Allah di setiap malam".

Setelah itu, ibu Etty memutuskan untuk bertaubat dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak meratapi nasibnya. Ia merasa yakin, jika ia pasrah dan ikhlas maka semua permasalahan hidup yang ia hadapi akan lebih mudah dijalani. Bukan hanya itu, ia juga mulai ikut pengajian dan organisasi-organisasi yang bersifat positif. Untuk memperkuat semangatnya, ia suka bersilaturrahmi ke tempat orang-orang yang sukses untuk menanyakan kunci kesuksesan mereka.Yang ia temukan dari kunjungan-kunjungannya itu sebagian besar jawabannya sama, yaitu tawakkal pada Allah yang disertai dengan usaha. Dan sejak itu, ia selalu berusaha untuk terus beristighfar di setiap tarikan nafasnya.

Saudara-saudaranya sempat membantunya di saat itu, namun ia tidak enak kalau terus-menerus harus hidup bergantung pada orang lain. Akhirnya ketika kakaknya memberikan modal untuk membuka toko kelontong di terminal daerah Bumiayu, Jawa Tengah, ia menerimanya dengan senang hati walaupun toko itu hanya berupa gerobak/bedeng. Namun ia bersyukur karena dengan berjualan di gerobag itu ia masih bisa menyambung hidupnya dan anak-anaknya. Ia berjualan mulai jam empat sore hingga dini hari, dan ia berjualan hanya ditemani oleh salah satu anaknya yang saat itu masih duduk di bangku SMP. Ia tidur di gerobag bergantian dengan anaknya. Udara dingin tak dihiraukan, preman terminal pun tak pernah dijadikan alasan untuk berhenti berjualan. Alhamdulillaah, semua berjalan lancar karenaNYA. Tekatnya untuk terus berjuang semakin hari semakin besar, bahkan jika giginya bisa dijual, ia akan menjualnya demi kehidupan anak-anaknya. Subhanallaah.

Anaknya yang setia menemaninya juga tak patah semangat. Ia membawa semua buku pelajarannya ke gerobag itu dan mengerjakan PRnya juga di gerobag tersebut. Karena ia harus tidur bergantian dengan ibunya, terkadang ia mengantuk ketika di kelas dan sempat ditegur oleh guru BP. Namun, ketika anak tersebut memberitahu alasannya, guru BP tersebut menangis membayangkan betapa berat perjuanganya dalam mengarungi hidup ini.

Pada saat anak tersebut sudah lulus SMA, ia kuliah di Jakarta dengan di bantu pamannya. Pamannya pula yang membawanya ke sana. Di Jakarta ia tidak duduk diam menunggu pemberian sang paman, ia melakukan apa saja agar bisa mengumpulkan uang. Menjadi tukang reparasi alat-alat elektronik hingga menjadi tukang bangunan pernah ia jalani padahal saat itu ia juga sedang kuliah. Dengan jerih payahnya itu akhirnya ia bisa mengirim uang untuk ibunya.

Karena begitu kuat keinginan sang ibu untuk menyekolahkan anak-anaknya, ada saat-saat ia suka meminjam uang ke rentenir. Ia tidak tau lagi kepada siapa ia bisa meminjam. Beberapa tahun kemudian, ketika salah satu anaknya ada yang sudah lulus kuliah, ia menangis hingga matanya bengkak. Ia merasa bahwa Allah telah memutar hidupnya. Ingin rasanya ia berbagi kebahagiaan dengan sang suami tercinta (alm).

Alhamdulillaah, saat ini salah satu anaknya ada yang berkerja di Bank Indonesia, dan anaknya pernah juga menawarkan kepadanya untuk membelikannya rumah atau mobil. Namun ia tak mau, satu hal yang diinginkan adalah ia ingin naik haji. Ia ingin bertaubat karena dulu sewaktu ia mengalami kesulitan ia suka meminjam uang ke rentenir. Alhamdulillaah, dengan perjuangan anak-anaknya, ia sudah pergi ke Baitullaah di Makkah Mukarromah. Ia sangat bersyukur serta bangga kepada anak-anaknya karena mereka tidak pernah mengeluh akan kondisi orang tua mereka.

Sampai saat ini, ia suka menangis jika melihat gerobag di pinggir jalan. Ia teringat saat-saat ia bersama anaknya harus bergantian tidur di dalam gerobag di setiap malamnya. Namun inilah hidup, seperti roda yang berputar, kadang ada bagian yang di bawah, namun pada saatnya ia akan berada di atas. Jika roda tak berputar, maka ia tak bisa berjalan. Begitulah hidup, ada senang dan ada susah. Mari semua kita kembalikan kepadaNYA. Kewajiban kita hanyalah berikhtiar, bersabar, tawakkal dan syukuri semua yang ada. InsyaAllah, semua kan terasa ringan tuk dijalani.

"Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmatKu kepadamu; sebaliknya jika kamu mengingkari nikmat itu, tentu siksaanku lebih dahsyat. (Ibrahim: 7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar